Bismillahirrahmanirrahim,
Tulisan ini aku tujukan untuk mengenang perkenalanku pada dakwah ini. Kaleidoskop tahun ketujuh. Aku telah menemukan diri yang jauh lebih matang, bersahaja, dan tenang dibandingkan aku tujuh tahun lalu. Melalui dakwah seluas lautan, kumiliki hati yang luas.
Lihatlah laut! Mata kita akan kaya dengan gradasi warna biru yang dominan, indah. Pertunjukan ombak yang berkejaran, bergulung, menyatu dan menghempas tepi pantai. Byurrrrrrrrrrr. Pecah. Kembali bergulung. Kembali berlomba menyatu dengan laut.
Bukan hanya permainan sederhana jika kita ingin memikirkan kelakuan ombak. Lihatlah, ombak bukan sekadar berlomba bergulung mencapai tepi pantai, ombak memperbaharui mineral dan susunan pasir di tepian. Pecah di pantai. Kembali ke tengah lautan. Disambut gulungan ombak lainya. Pecah kembali. Perlombaan yang menunjukan irama teratur.
Begitu pula dakwah. Dakwah menyajikan keindahan menarik untuk digeluti. Terlihat begitu indah persaudaraan yang diikat atas nama akidah karena Allah. Dua orang yang tidak saling mengenal akhirnya bisa saling menyanyangi. Inilah salah satu keindahan pada dakwah ini. Dakwah mengajarkan kita untuk saling menyayangi sesama muslim.
Lalu, keindahan kedua adalah dakwah ini juga memberikan peluang untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Kebaikan yang menghasilkan buah kebaikan yang lain. Kebaikan itu ternyata tidak sulit, bahkan membiasakan memberi salam merupakan kebaikan jika kita mengucapkanya dengan ikhlas. Atau membiasakan memberikan senyum indah pada setiap orang yang kita jumpai merupakan kebaikan. Sungguh, kebaikan yang diajarkan dalam dakwah islam merupakan keindahan.
Namun, keindahan kebaikan itu adalah mengajak orang lain untuk berbuat baik pula. Inilah seni ombak yang dimiliki dakwah. Perbaharuan kebaikan. Menjadikan kita untuk senantiasa berbuat baik dan mengajak orang lain sama-sama melakukan kebaikan. Indah bukan?
Kembali pada lautan, bukankah lautan itu begitu tenang? Semakin ke tengah akan semakin dalam dan tenang, sedangkan tepiannya penuh dengan deru geram ocehan ombak. Begitu pula dakwah, semakin kita berada dalam dakwah yang kita temukan adalah ketenangan.
Teringat pada awal perkenalan dalam dakwah ini, pernah tumbuh perasaan ragu untuk menceburkan diri dalam lautan dakwah. Berkali-kali ditampar oleh rasa malas untuk memenuhi janji kebaikan. Begitulah bila kita berada pada tepian dakwah, selalu merasa bahwa dakwah ini tidak begitu penting secara pribadi. Pernah pula menganggap bahwa dakwah ini hanya sebuah kesia-siaan, hingga mengajukan masa cuti untuk merenung akankah melanjutkan atau cukup sampai disini.
Satu per satu godaan mengajak diri ini untuk kembali pada sosok saat belum mengenal dakwah. Daratan jahiliyah selalu tergambar begitu menyenangkan. Menghabiskan waktu untuk melakukan hal yang lebih menarik dari pada syuro atau memilih untuk tidur di kamar kos daripada harus ikut mabit di pondokan ukmi. Itulah secuil godaan saat berada dalam tepian dakwah.
Akan tetapi, kasih sayang Allah memberikan kita kesempatan untuk terus berada dalam dakwah. Selangkah demi selangkah, satu kebaikan menghasilkan buah kebaikan lainnya. Persaudaraan itu semakin kuat, perhatian yang semakin lekat, dan tak lupa saling bertukar nasehat. Godaan-godaan di tepian dakwah pun terlewat.
Sebuah percakapan yang selalu menjadi cambuk jika aku secara tidak sadar tergoda untuk keluar dari dakwah.
Aku: “Ibu, alasan apakah yang membuat ibu bertahan pada jalan dakwah yang panjang dan berduri ini?”
Murabbyku: “Jalan ini memang panjang dan berduri. Namun, dengan pertolongan Allah kaki kita terasa tebal untuk melewatinya.”
Aku: “Apakah ibu pernah terpikir untuk keluar dari dakwah?”
Murabbyku: (mengangguk) “Akan tetapi, dakwah ini seperti air lautan, sedang kita adalah ikannya. Akankah ikan hidup tanpa air?”
Percakapan kami ditutup dengan kifaratul majelis dan sebuah pemahaman bahwa kitalah yang membutuhkan dakwah ini. Bukan sebaliknya.
*Silviana Hendri mengenal dakwah melalui Rohis SMA
Semoga kita selalu ikhlas dalam kebaikan
Biografi singkat:
Silviana Hendri, penulis salah satu cerpen dalam antologi Dua Warna-nya FLP Riau dan Tragedi Buah Rukam (Leutikaprio, 2011), telah menyelesaikan kuliah S1-nya di Universitas Riau pertengahan 2010 lalu. Hobinya tentu saja membaca dan menulis. Konon, ia juga senang bergelut dengan rumus-rumus fisika. Ingin kenal lebih dekat? Sapa penulis melalui : silvianahendri@gmail.com, facebook : Acha Teratai (Adinda Arsya Teratai)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar