Bipduan PKS Bekerja untuk Indonesia

Bipduan PKS Bekerja untuk Indonesia

Minggu, 27 November 2011

Artikel My Spirit halaqah- 9 : PERJALANAN INI

PERJALANAN INI

 
Sungguh ku tulis untaian kata ini dengan semangat yang sangat menggebu-gebu kawan, apalagi setelah perjalanan panjang menjadi seorang hamba ku lalui dengan banyak kisah. Kisah yang selalu memberiku ambisi yang kuat untuk tetap mencintai Robbku. Aku sangat mencintai perjalanan ini kawan. Betapa aku terisak haru, menangis pilu, atau bahkan tertawa riang dalam perjalanan ini, tapi aku tetap merasa ini adalah sebuah gradasi warna kehidupan yang indah. Aku tidak akan pernah lelah kawan, aku tidak pernah akan pernah berhenti kawan, apalagi untuk mundur. Sekali lagi tidak akan pernah. Saksikan dan teguhkan ya Roob. Amiin.
Aku terlahir 27 tahun silam dari hasil sebuah pernikahan putra berdarah jawa dan putri berdarah melayu. Orang tuaku adalah seorang petani. Aku adalah sulung dari 5 bersaudara. Berasal dari tatanan keluarga yang menurutku cukup taat beragama dan dengan ekonomi kurang mampu. Pendidikan formal selama 16,5 tahun kujalani di kota kelahiranku yaitu Pekanbaru. Kota yang sekarang ku rasa selalu sibuk demi mencapai sebuah kata yang bernama ambisi.
Sejak menempuh SD sampai tamat SMK, aku tidak terlalu paham dengan yang namanya rohis sekolah. Bagiku saat itu rohis hanya sebuah ekstrakurikuler yang sejajar dengan jenis ekstra lainnya. Di SMK tempat aku bersekolah rohis sekolah baru didirikan ketika aku akan naik ke kelas 3. Ketika SMK ada dua orang temanku yang berpakaian  sesuai syari’at (buat Adita dan Khusnul terima kasih tetap jadi saudara yang baik bagiku hingga hari ini). Ketika melihat mereka hatiku tidak tertarik tetapi senang melihat cara  mereka berpakaian.
Setelah menamatkan pendidikan di sekolah menengah, aku akhirnya diterima melalui jalur seleksi nasional di Universitas Riau. Di kampus ini pertama kali aku melihat banyak akhwat ketika daftar ulang. Waktu daftar ulang para mahasiswa baru diberi bantuan berupa keterangan mengenai daftar ulang. Waktu itu aku bertemu dengan seorang akhwat (buat kak Maya FKIP 01, senyum tulus dan bantuanmu akan selalu ku kenang kak), beliau dengan tenang menjelaskan prosedur daftar  ulang kepadaku. Aku tahu beliau lelah karena naik turun tangga rektorat, tapi semua itu terlupakan olehnya setelah mendengar sapaan dan pertanyaanku. Itu satu kisah indahnya ukhuwah yang kurasakan.
Setelah perkuliahan berjalan beberapa minggu, mulailah aku dikenalkan dengan istilah asistensi agama islam. Waktu itu diriku masih menjalani asistensi seperti ekstra di sekolah. Baru setelah mengikuti kajian-kajian keislaman yang ditaja Lembaga Dakwah Kampus, aku sedikit demi sedikit merasa ada yang beda. Satu semester asistensi agama islam ku habiskan hanya untuk mengamati kehidupan rohis kampus.
Maret 2004, aku mulai hijrah ke pondokan pengkaderan (Syahidah Camp). Kepindahanku selain tidak betah di tempat semula juga di dukung usulan dua orang teman (buat Dina M. dan Dewi J. syukron telah menguatkanku untuk pindah) yang ku kenal lewat acara Pelatihan Manajemen Organisasi (PMO). Babak baru dimulai, sekarang aku tidak hanya melihat sepak terjang akhwat secara perfect di dunia kampus namun juga melihat sisi kehidupan pribadi mereka. Di pondokan ini satu demi satu figur akhwat ku amati. Selama tinggal disini aku tetap dengan karakterku yang intropen dan tegas. Ini kulakukan untuk melihat sejauh mana pemahaman teman-teman serumahku  terhadap sesama.
Setelah 1,5 tahun hidup bersama dalam pondokan Syahidah, barulah pada hari senin tanggal 05 September 2005 Allah mengetuk pintu hatiku. Hari itu adalah hari yang penuh kenangan bagiku, bukan karena semester pendekku berakhir dengan IP 4, dan juga bukan karena beasiswa pendidikanku cair dengan nominal jutaan rupiah. Hari itu adalah hari dimana aku berniat dan bertekad untuk menghijrahkan pakaianku. Sesuai dengan dukungan teman satu kost ku bahwa perubahan itu harus dimulai. Dengan memiliki dua helai rok yang ku beli dengan uang hasil kerja keras adik kandungku  yang bekerja di Unit Produksi SMK Negeri 2 Pekanbaru (waktu itu adikku bersekolah, tinggal dan bekerja di situ). Satu jilbab pertamaku yang dibeli secara kredit pada teman sekost ku (syukron Wi atas kredit jilbabnya).
Berhubung jumlah pakaian yang masih terbatas dan daya beli terhadap benda tersebut masih lemah, maka solusi terakhir adalah meminjam. Untung teman sekamarku sangat paham dengan kondisiku saat itu. Disini aku ingin haturkan rasa terima kasih yang dalam pada Fatma Dewi teman satu kamarku. Engkau tak layak menjadi adik bagiku, ketulusan, perhatian, pengorbanan, dan kasih sayang yang engkau curahkan padaku membuat engkau layak ku panggil seperti  ibu. Kasihmu yang begitu tulus sampai hari ini masih hangat kurasakan. Walau aku tak pernah mampu nyatakan ini padamu, tapi harus aku akui bahwa aku sangat menyayangimu. Sungguh sampai hari ini tidak pernah kutemui saudara seperti dirimu. Mungkin entah kapan Allah akan menemukan kita kembali.
Malam…. Ku titipkan rindu ini buat saudaraku yang jauh di sana
Jadikan ia bidadari yang  slalu menghembuskan nafas-nafas iman islamMu
Wanita sholehah yang slalu mendamba kasih sayangMu
Muslimah yang slalu menjaga izzah addinMu
Semoga kerinduan ini berobatkan pertemuan yang menumbuhkan benih-benih cinta
Yang disemaikan oleh sang penggenggam cinta yang Agung
Ku titip juga rasa cinta dan kasih ini,
 agar Allah semaikan dalam ladang hati yang subur akan keimanan
semoga iman slalu menyatukan kita dalam ikatan ukhuwah yang indah ini
(Lubuk Dalam, Sabtu, 03:51 WIB, 26 November 2011)
Perubahan berpakaian itu, membawa pengaruh besar bagi posisiku di tengah lingkungan kampus, organisasi dan keluargaku. Bagi lingkungan kampus perubahan ini disambut baik oleh teman-teman sesama Aktivis Dakwah Kampus. Di lingkungan Himpunan Mahasiswa Jurusan dimana aku kuliah mereka mulai mengkotak-kotakan posisiku, ada yang bilang aku anggota KAMMI, ada yang bilang aku akhwat HTI, dan ada juga yang nyeletuk kalau aku punya cita-cita jadi istri Osama Bin Laden. Dalam keluarga intiku perubahan ini di sambut dengan baik, tapi tidak dengan keluarga besarku yang mulai memasukkanku dalam partai yang bernomor 16 (kala itu PKS no urutnya 16).
Sampai akhirnya awal februari 2006 aku dinyatakan lulus tes tertulis menjadi CPNS bagian administrsi pada Kejaksaan Tinggi Riau. Alllahuakbar!!!!!! (sebelah kaki di syurga dan sebelah lagi di neraka kata abahku kala itu). Aku tes menggunakan ijazah SMK. Selanjutnya aku diminta untuk memenuhi persyaratan administrasi untuk test tahap dua. Pada tes tahap dua tersebut seluruh biaya tes yang lebih kurang berjumlah satu juta rupiah dibayarkan oleh saudara sepupuku.
Saat menjalani tes tahap dua, aku mulai sedikit demi sedikit mengetahui tentang tugasku nanti kalau lulus tes tahap dua. Disitu ku ketahui bahwa setelah lulus tes tahap dua nanti akan ada pendidikan semi militer kejaksaan selama kurang lebih tiga minggu di Kejaksaan Agung. Wah, semi militer, bisa kubayangkan bagaimana nanti aku harus berjuang seorang diri mempertahankan jati diri sebagai seorang muslimah. Disebutkan juga bahwa jilbab yang diizinkan penggunaannya memiliki standar panjang tertentu, tentu saja standar yang ditetapkan harus di atas bed nama dan pangkat serta golongan yang di bahu. Aku ngeri, pasti nanti akan terwarnai. Kuliah yang kujalani saat itu juga tidak akan dipakai nantinya jika aku lulus.
Hatiku mulai ragu. Tahajud yang sebelumnya berisi permohonan kelulusan kini berubah jadi istikhoroh  dipersimpangan. Walaupun saat itu aku sangat butuh dana untuk melanjutkan kuliahku yang hampir selesai. Akhirnya ketika tes tahap dua yang terakhir (tes wawancara), aku menyampaikan bahwa saat itu posisiku adalah seorang mahasiswa  keguruan di Universitas Riau. Kajati Riau saat itu juga menyatakan bahwa sebaiknya aku meneruskan kuliahku, mengingat kondisi kuliah yang hampir selesai dan cara pakaian yang masih asing di lingkungan kejaksaan saat itu.
Pengumuman tes tahap dua keluar, aku tidak lulus. Semua mata tertuju padaku. Komentarpun mengalir deras di masa awal ketidaklulusanku. Kalau rekan-rekan sesama ADK merasa bersyukur karena tidak jadi kehilanganku, keluarga intiku merasa santai saja karena mereka memang lebih suka kalau aku meneruskan kuliahku. Tapi untuk keluarga besarku, mereka memberi protes yang keras terhadap jilbabku. Jilbab jadi alasan utama menurut mereka menjadi penyebab ketidaklulusanku. Tapi aku tidak peduli dengan komentar mereka, ku kembalikan pada aturan Allah. Cukup berdebat dengan orang-orang yang paham dengan apa yang diperdebatkan. Bukan berdebat kurir tanpa landasan yang jelas dan hanya mengedepankan akal belaka.
Setelah kejadian itu, tepatnya pada Mei 2006, beasiswa dari pemerintah provinsi Riau keluar. Jumlahnya sebesar 7,5 juta rupiah. Bathinku haru kawan, status CPNS golongan IIa yang kulepaskan ternyata tidak menutup rizkiku untuk tetap bisa melanjutkan kuliah. Alhamdulillah…… bisa buat beli laptop IBM seken dan sisanya buat biaya kuliah.
Perjalanan panjang dalam menghijrahkan hati dan pakaian dalam masa muda  di tengah pencarian jati diri bukanlah hal yang mudah kawan. Ada ujian yang datang melanda, ada perangkap menanti mangsa. Segala macam ujian datang silih berganti, baik itu dari segi akademis, organisasi interen dan eksteren kampus, ekonomi, sosial, bahkan masalah cinta juga tak luput menghampiri hari-hariku. Namun semua itu ternyata tidak membuat jasad dan ruh ku menyerah pada keadaan. Cobaan dan godaan yang datang justru makin mendewasakan jiwa. Jiwa ini akhirya mengerti bahwa untuk keistiqomahan itu dibutuhkan ilmu. Karena bisa jadi ketidak istiqomahan kita bukan disebabkan karena kesombongan hati kita untuk menolak kebenaran, tetapi dikarenakan kemiskinan hati dan akal kita akan ilmu.   
Kesadaran akan hal ini membuatku untuk terus bersemangat dalam berbenah kawan. Mengisi ruang terhormat dalam dadaku dengan himpunan partikel-partikel keislamanku. Bukan hanya sekedar hapal rukun islam lima perkara saja. Tetapi mencoba mencari makna dari setiap item tersebut. Aku mencari Tuhan, kawan. Mencoba untuk mencari apa yang sudah kulakukan selama ini dari kalimat Asyhadualla ila haillallah wa asyhaduanna Muhammad darrosulullah.  Adakah konsekuensi penghambaan kulakukan? ternyata tidak. Dua puluh empat jam dari waktuku, hanya digunakan untuk peletakan posisiku sebagai budak. Bukan budak sembarang budak, tapi budak nafsu. Astaghfirullah….
Perubahan yang ku lakukan dalam proses ini banyak dibantu oleh saudari-saudari satu pondokan. Karena mereka yang paling cepat bersentuhan denganku ketika terjadi sesuatu. Mereka yang paling duluan tahu tentang kondisi imanku. Mereka yang senantiasa mengajakku menghadiri kajian. Mereka selalu memberi semangat tarbiyah walaupun hanya lewat alunan nasyid (Syahidah eror fm). Memberi kenangan ketika hari lahirku, ini berkesan bukan karena nilai hadiah yang mereka berikan, tapi karena tulisan yang mereka selipkan disetiap kadonya. Sampai sekarang tulisan motivator itu masih ku simpan ukh.  Kalau dengan murobbi, aku tetap dengan sikap dasarku yang sedikit tertutup.
Setelah melewati perjalanan itu, barulah mulai ku rasakan nikmatnya iman. Nikmatnya hati yang tetap diridhoi Allah menjadi sebagai seorang hamba, bukan seorang budak. Nikmatnya akal yang tetap terbingkai indah dalam loyalitas keislaman secara utuh. Nikmatnya kesempurnaan jasad yang tercover indah dengan pakaian muslimah. Nikmatnya ketenangan karena telah percaya dan mempercayakan segala urusan kepada Allah.
Tiga puluh satu Agustus 2007, episode  melajang ku akhiri melalui pernikahan dengan seorang ikhwan yang berusia lima tahun lebih tua dariku. Pernikahan kami tanpa direstui murobbi sang ikhwan, karena pada saat itu sang akhi belum memiliki pekerjaan. Alasan klasik dan wajar kurasa bagi seorang yang telah menjalani kehidupan berumah tangga. Tapi pernikahan itu tetap direstui oleh keluarga kedua belah pihak.
Setelah menjalani hari-hari baru dalam hidupku, masalah makin banyak kawan. Kuliah kami berdua belum selesai, pekerjaan suami masih semraut, hamil muda, deadline target pribadi menumpuk. Akhirnya skala prioritas ditentukan, dukung mendukung dilakukan, pengertian tingkat tinggi diberikan, kelapangan dada dikalikan. Hingga energi tawakal lahir setelah mengerahkan semua tenaga dan pikiran. Bayangkan pertongan Allah saat itu pada keluarga kami, dengan kondisi yang serba rumit dan kesehatan yang berfluktuasi tinggi akhirnya kuliah kami selesai dengan hasil sangat memuaskan. Beasiswa penelitian  yang diajukan kala itu semuanya cair dengan nominal jutaan rupiah. Lumayan buat simpanan lahiran pikirku.
Ditahun-tahun berikutnya setelah pernikahan kami tidak banyak pergolakan tarbiyah yang terjadi. Fikiran kamipun sudah terkaver dalam satu tujuan. Perbedaan usia dan kedewasaan dari kami berdua mungkin menjadi peneduh disetiap riak-riak gelombang yang terjadi (tentu saja atas izin Allah). Memang kuakui sang suami bukanlah orang yang terjun secara utuh dalam berpartai. Hal ini wajar mengingat kesibukan beliau ketika masih bekerja di instansi swasta. Pagi hingga siang beliau mengajar SMP, sore menjadi asisten dosen, malam menjadi dosen di salah yayasan pendidikan di Pekanbaru dan diakhir pekan(sabtu dan ahad) beliau habiskan untuk keluar kota mengajar pada Universitas Terbuka.
Hingga akhirnya pada tahun 2009 kami hijrah ke Mempura. Tidak lama kami di sana (hanya 2 bulan), karena saya harus kembali ke Pekanbaru untuk melahirkan anak kedua (maklum keluarga besar). Tiga bulan setelah melahirkan kami harus pindah lagi ke Lubuk Dalam. Di Lubuk Dalam butuh waktu 2 bulan untuk menelusuri keberadaan ikhwa. Plang DPC ada, tapi tak bertuan, hingga akhirnya kami ditemukan dengan teman sekamarku ketika kuliah ukhty Nuryati. Hingga sekarang diriku kembali ke murobbi lama. Allah meridhoi pertemuan kita di sini mbak.  
Memasuki usia keempat tahun bagi putri sulungku, kami sudah mulai merancang sekolah dasar mana yang akan dipilih untuk buah hati tercinta. Maklum tinggal di desa yang ada cuma PAUD dan TK Gemilang di yayasan Serantau Madani. Tapi teringat film Sang Murobbi, kalau lingkungan itu harus kita ciptakan. Insya Allah will’l find a way.  
Saat sekarang, kalau untuk urusan ibadah aku termasuk orang yang biasa biasa saja. Aku  bukan  udztazah dengan banyak santri. Aku bukan murobbi dengan banyak mad’u. Aku bukan ahli fiqih yang banyak ilmu agama. Aku bukan agen rahmatan lil’alamiin seperti halnya almarhumah uztazah Yoyoh. Tapi hari ini aku lahir sebagai hamba yang berusaha untuk kembali taat kepada Allah dan Rosul. Ya Allah tolong sambut pelukan hambaMu yang kembali ini. Hingga memasuki tahun kelima usia pernikahanku dan tahun ketujuh usia tarbiyahku,  setiap melalui ombak yang kecil atau badai sekalipun  diriku tidak mengedepankan kognitif dan hati yang kosong  lagi. Semuanya  selalu dikembalikan kepadaNya.
Perjalanan tarbiyah ini masih panjang, agenda demi agenda harus diselesaikan dengan segera. Walaupun sekarang kami berdua hanya bergerak di bidang rohis sekolah dan Bidpuan DPC, semoga cucuran keringat ini tetap menjadi pemberat timbangan amal kebaikan. Semoga air mata di setiap tahajud kami bisa menyirami api neraka yang membakar. Semoga safaat yang sangat dinantikan menjadi nyata kelak. Akhirnya hanya ampunan dari sang Maha Pengampun yang dapat menyelamatkan kami dan kita semua dari siksa api neraka. Ya Allah kabukanlah doa kami. Amiin.
 


Iyai Susanti, S. Pd.
Komplek Rumah Dinas SMK Negeri 4 Siak, Rawang Kao, Lubuk Dalam, Siak
                                                                                                 Email iyainingrat@gmail.com  fb.  iyai ningrat

1 komentar: